Mencari
Sang Maha Gha’ib:
Oleh:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Djawa
dwipa. Hari Rabu Wage. Tgl 30 November 2016
-
GUSTI ALLAH... Panjenengan panggenanipun dhateng pundi...?!
+AKU
ono ning teleging ati.
-
GUSTI ALLAH... Kulo sampun nyusul Panjenengan dumugi dhateng teleging ati.
Panjenengan kok mboten wonten. Panjenengan dhateng pundi...?!
+
Kowe ora bakal biso nggoleki AKU. AKU ono ning teleging urip. Kowe bisa ketemu
kelawan AKU, yen wis titi mongsone.
Terjemahan:
-
GUSTI ALLAH... Di manakah ENGKAU...?!
+
AKU ada di dasar hati. (sanubari)
-
GUSTI ALLAH... Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati. ENGKAU, kok tidak ada.
Dimanakah ENGKAU...?!
+
Kamu tidak bakal bisa mencari AKU. AKU ada di dasar hidup. Kamu bisa ketemu AKU.
jika sudah saatnya nanti.
Gambaran
dialog di atas, menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu
dengan Sang Hyang Maha Suci Hidup atau GUSTI ALLAH. Kita tidak akan bisa
bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLAH, jika belum sa’atnya. Namun, dari
dialog itu, kita bisa tahu bahwa, ALLAH itu dekat. Seperti yang dijelaskan
GUSTI ALLAH sendiri dalam Al’Quran “AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri.”
Namun
orang Jawa memiliki falsafah tersendiri, agar tidak putus asa untuk bisa
bertemu Sang Khalik. Falsafah tersebut berbunyi,”Sopo sing temen bakal tinemu.”
Yang artinya, “Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya”. Falsafah
tersebut, sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual. Setidaknya, orang jawa merasa pasti bisa bertemu dengan
GUSTI ALLAHmu, di alam kematian sa’at hidup di dunia ini.
Lho,,,
hidup di dunia ini kok disebut alam kematian?
Karena
orang hidup di dunia itu, hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati
itu, hakekatnya hidup. Alasannya,,, kita hidup di dunia ini, selalu diperalat
oleh kulit, daging, perut, mata, hidung, mulut, terutama di bawah pusar perut,
yang bernama burung perkutut, otak dan lain-lainnya. Oleh karena itu, saat kita
hidup di dunia ini, pasti membutuhkan makanan untuk kita makan. Sarana untuk
bisa mendapatkan makanan, adalah dengan bekerja mencari duit. UUD.
Nah,,,
kita makan itu, sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian. Lantaran diperalat
oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya, maka kita ini disebut
mati. Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini
ditinggalkan. Yang hidup hanyalah Ruh Suci nya. Ruh Suci tidak pernah butuh
makan, tidur, apalagi butuh duit. Ruh Suci itu hanya butuh bertemu dengan si
Pemilik Ruh Suci, bukan yang lainnya, karena Ruh Suci berasal dari Hyang Maha
Suci Hidup. Dia menempati karena atas perintah-Nya. Anda bukan atas
perintah-Nya. Sudah pasti Ruh Suci tidak sudi menempati si Tubuh yang penuh
dengan perbudakan ini.
Di
bagian lain, pada facebook, google, blog dan wordpres saya ini, pernah saya
jelaskan perihal “belajarlah mati sebelum kematian itu datang”. Artinya, ketika
kita hidup di dunia ini, hendaklah kita
belajar mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal, yang bersifat
mengotori hati. Tujuannya, semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.
Guna mengobati rasa kerinduan Ruh Suci kita, yang terpendam selama seumur hidup
kita.
Mengapa
kita mesti belajar mati?
Belajar
mati sangatlah penting. Agar nanti ketika kita mati, tidak salah arah dan salah
langkah. Lho…Bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari
Hyang Maha Agung hingga kiamat nanti?
Oh…Tidak.!!!
Sungguh
malang sekali orang tersebut jika setelah mati raga, tidur menunggu pengadilan
dari Hyang Maha Agung hingga kiamat nanti.
Orang
mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Suci Hidup.
Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,”Urip iku ibarat wong mampir
ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)”. Kalau diibaratkan secara
detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir yang berjalan,
lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon. Ketika rasa letih dan lelah
itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali melanjutkan perjalanannya.
Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.
GUSTI
ALLAH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat tentang GUSTI
ALLAH. Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLAH itu jauh ketika sang musafir tersebut
lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI
ALLAH. Seperti rumah makan padang, warteg, warkop, warnet, losmen, hotel,
lesehan, dan reman-reman,,, di pinggir jalan pantura... He he he . . . Edan
Tenan.
Pertanyaannya,
Bagaimana untuk bisa bertemu dengan GUSTI ALLAH?
Ibarat
kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajahnya, bohainya, lenggak
lenggoknya, gungung kembarnya, dan anunya, sang kekasih hati, sudah terlukis
dalam benak kita, meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh. “Jauh di mata,
dekat di hati”. Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLAH harus selalu terlukis
dalam benak kita. Artinya, kita harus senantiasa eling/ingat.
Kedua,
GUSTI ALLAH itu bersifat Ghaib. “Mustahil bagi kita yang nyata ini bertemu
dengan yang Ghaib,” begitu kata orang rasional. Tapi pendapat itu tidak berlaku
bagi para pendaki spiritual hakikat hidup. Seseorang bisa bertemu dengan Sang
Maha GHAIB, dengan menggunakan satu piranti khusus. Apakah itu? Piranti itu
adalah Mata Bathin, bukan matanya raga/jasad. Sebab GUSTI ALLAH itu Gha’ib,
artinya tidak bisa dipandang dengan mata raga/jasad.
Dari
kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa kedua cara
tersebut lebih mengandalkan pada piranti, yang lebih halus lagi, untuk bisa
bertemu dengan GUSTI ALLAH, yaitu dengan RASA. Jika RASA itu sudah terbiasa
diasah, maka akan menjadi RASA HIDUP, yang tajamnya melebihi mata pedang
samurai. Tidak percaya...?! Buktikan saja, dengan cara berlatih mengasah RASA.
Agar RASA itu menjadi Hidup, dengan sistem
belajar mati sajeroning Urip.
Tapi...
tunggu dulu, jika memang benar-benar ingin membuktinya, harus dengan Sarana
Wahyu Panca Gha’ib. Sebab... hanya Wahyu Panca Gha’ib lah, yang menuju ke arah
tersebut, dan asli menggunakan RASA. Bukan ilmu, bukan kesaktian, bukan
politik, bukan agama, bukan kepercayaan atau kejawen, dan bukan bla... bla...
bla... lainnya. Cuma RASA dan hanya RASA.
Itulah
bedanya Wahyu Panca Gha’ib dengan lainnya. Tapi jika bin kalau Anda menemukan
lainnya, selain Wahyu Panca Ghaib. Silahkan di amalkan, di praktekan, di
ibadahkan. Sebab... Wahyu Panca Ghaib sekalipun, jika bin kalau tidak di amalkan,
di praktekan, di ibadahkan dengan Wahyu Panca Laku, tidak ada bedanya dengan
yang lain-lainnya, yaitu hanya sebatas dogma dan doktrin belaka. He he he . . .
Edan Tenan. Damai...
Damai... Damai Selalu Tenteram. Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing
Sambikolo. Amanggih Yuwono.. Mugi Pinayungan Maring Ingkang Maha Agung. Dzat
Maha Suci Mugi kerso Paring Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet.. BERKAH SELALU. Untuk semuanya tanpa
terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom
Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup....._/\_.....
Aaamiin... Terima Kasih. Terima Kasih. Terima Kasih *
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Telephon/SMS/WhatsApp/Line;
0858-6179-9966
BBM;
D38851E6
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com