WUJUD BERNAMA MANUSIA Bagian.02
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Brebes Rabu Tgl 10 Des 2014
Pengenalan Jiwa
Mukadimah;
Salah satu persoalan yang penting dan urgen untuk
mencapai kesempurnaan akhir dan tujuan penciptaan adalah makrifat dan
pengenalan jiwa. Manusia yang tidak mengenal dirinya dapat dipastikan akan
salah dalam menentukan kesempurnaan insaninya, dan hal ini akan menyebabkannya
menjalani kehidupan di dalam lorong-lorong gelap kejahilan. Oleh karena itu,
pengetahuan terhadap jiwa dan diri sendiri merupakan prinsip yang paling
mendasar untuk kebahagiaan dan keberuntungan manusia.
Urgensi Pengenalan Diri dalam Al-Quran;
Allah Swt dalam surah al-Maidah, berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk, hanya kepada
Allah kamu semuanya kembali, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan".[1]
Ayat di atas menyinggung beberapa poin penting berikut:
1. Allah Swt berfirman, apabila kamu telah mendapat
petunjuk, maka kamu berada di jalan yang benar dan terbimbing;
2. Dalam keadaan ini, kesesatan orang-orang di sekitar
kalian yang tersesat tidak akan membahayakan kalian;
3. Kehidupan manusia ibarat menempuh suatu jarak
perjalanan di sepanjang hidup, karena kesesatan dan hidayah ada pada setiap
perjalanan, maka bisa dikatakan orang yang mengenal jiwanya di tengah
perjalanan, berarti ia telah memperoleh hidayah tanpa harus mengalami
kesesatan. Dalam keadaan ini, tersesatnya sebagian dari teman seperjalanan tak
akan mampu mengalihkan perhatiannya, karena ia telah menemukan tujuan, mengenal
arah perjalanan, mengetahui akhir perjalanannya, dan yakin akan memperoleh
hasil dari tujuan hidupnya. Dan ibarat ini tak lain adalah perjalanan jiwa,
dimana al-Quran menyinggung hal tersebut dengan firman-Nya, "Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?"[2] Dan yang dimaksud dari menempuh perjalanan di sini adalah
tak lain merupakan perjalanan mengenal jiwa manusia, dan perjalanan semacam ini
merupakan jalan terdekat untuk sampai pada Tuhan, sebuah perjalanan yang
memiliki paling sedikit kesalahan.
Akan tetapi perjalanan horisontal merupakan lintasan lain
yang bisa digunakan untuk sampai pada tujuan dan kesempurnaan manusia, dimana
hal ini merupakan perjalanan ilmu pada alam kosmos dan mikrokosmos, dan ayat di
atas, menyinggung kedua perjalanan tersebut.
Jadi, jelaslah bahwa perjalanan jiwa pada hakikatnya merupakan
gerak manusia pada lintasan wujud dirinya yang terjadi dari awal dan akan
berlanjut hingga akhir hayat, yaitu manusia yang melangsungkan kehidupannya di
dunia natural tidak seharusnya tertawan oleh karakteristik materi dan seumur
hidup mengecimpungkan dirinya dalam dunia materi, melainkan dia harus melangkah
dalam lintasannya sendiri untuk mengenal dan menemukan bumi dan tempat tinggal
yang hakiki bagi wujud nya.
'Alaikum anfusikum[3]
Pada ayat di atas dikatakan "Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan ('alaikum anfusikum) pada diri mereka sendiri …", maksud dari
'alaikum anfusikum tersebut, antara lain:
1. Jangan sekali-sekali melepaskan diri kalian sendiri,
kenalilah jiwa kalian, karena kesulitan untuk mengenal mutiara berharga ini
setara dengan kesulitan untuk mengenal-Nya, dan adanya keniscayaan antara
pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan merupakan bukti dari pentingnya persoalan
ini;
2. Berhati-hatilah kalian terhadap diri kalian sendiri,
supaya kalian mampu menjalankan kewajiban Ilahi yang seharusnya dan tidak
melakukan dosa. Melalui Nabi-Nya, Allah Swt telah menjelaskan metode untuk
menjaga diri dari jiwa, dan Allah juga telah menentukan seluruh persoalan,
manfaat, dan kerugian manusia serta kewajiban-kewajiban praktisnya. Selain
manusia harus mengamalkan aturan-aturan langit dan program-program Ilahi yang
telah ditentukan, dia juga harus menjaga diri dari bahaya-bahaya dan
kerugian-kerugian jiwa, dan karena merupakan penjaga yang cerdik dan cermat,
seluruh aktivitas jiwa sesaat demi sesaat harus senantiasa berada di bawah
pengawasan untuk kemudian mengarahkannya pada program-program Ilahi dengan sepenuh
keyakinan.
3. Karena jiwa merupakan salah satu dari eksistensi yang
ajaib, rumit, dan misterius, bahkan paling rumitnya eksistensi yang ada di
alam, maka arahkan jiwa tersebut pada kebesaran, keagungan, dan untuk mengenal
Penciptanya.
Urgensi Pengenalan Jiwa dalam Hadits;
Imam Ali As bersabda, "Manusia yang tidak mengetahui
jiwanya sendiri, dia akan dilepaskan"[4], yaitu baginya tidak ada
perbedaan antara hidayah atau kesesatan. "Seseorang yang tak mengenal
dirinya, maka perbuatannya akan mengarah pada kerusakan".[5] "Aku
heran kepada orang yang sibuk mencari sesuatu yang hilang darinya, akan tetapi
ketika dia kehilangan dirinya, dia tidak mencarinya dan tidak berusaha untuk
menemukan dirinya kembali".[6] "Barang siapa tidak mengenal dirinya,
dia akan lebih jahil untuk mengenal selainnya".[7] "Siapa yang tidak
mengenal dirinya, berarti dia telah jauh dari jalan keselamatan dan dia akan
sesat dan bodoh".[8] "Paling lemahnya orang, adalah mereka yang
menghalangi dirinya untuk memperbaiki diri".[9] "Barang siapa
mengenal dirinya, dia akan lebih mengetahui keadaan selainnya".[10]
"Barang siapa mengenal seluruh hakikat dirinya, maka dia telah memperoleh
paling tingginya makrifat dan pengetahuan".[11] "Siapa yang mengenal
dirinya, akan berhadapan dengan Keindahan Sumber Keajaiban".[12]
"Arif adalah orang yang mengenal dirinya, membebaskan jiwanya dari ikatan
waswas setan dan nafsu amarah, menyingkirkan segala sesuatu yang akan
menjauhkannya dari Tuhan dan akan membersihkan segala sesuatu yang menyebabkan
kehancurannya".[13]
Jadi seseorang yang tidak mengenal jiwa, maka dia tidak
akan berhasil membersihkan dan menyempurnakan jiwanya, karena pengenalan jiwa
berarti mengenal kesempurnaan sekaligus mengetahui segala rintangan dan
hambatan dalam pencapaian kesempurnaan, begitu pula, dengan ini ia dapat
mengenal segala keburukan bagi jiwa. Tentunya, pengenalan jiwa juga bermakna
pengetahuan terhadap hakikat jiwa, kedudukan, dan hal-hal yang menyebabkan
kebahagiaan dan kemalangannya. Dan mengenal jiwa membuat manusia larut dalam
kenikmatan akal dan spiritual dan tidak lagi mengikuti kecenderungan hawa
nafsu, bisikan setan, dan penghambaan kepada selain Tuhan.
Imam Ali bersabda, "Kebodohan yang terbesar adalah
kejahilan manusia terhadap persoalan-persoalan jiwanya".[14] "Paling
baiknya pengetahuan adalah mengenal diri, barang siapa mengenal dirinya berarti
dia mengetahui, dan siapa yang tidak mengenal dirinya akan berjalan ke arah
kesesatan".[15] "Bagaimana seseorang yang jahil terhadap dirinya bisa
mengenal Tuhannya?".[16] "Barang siapa mampu meliputi seluruh ilmu
tentang jiwanya, maka dia akan sampai pada pengenalan dan makrifat
Tuhan".[17]
Harus diingatkan bahwa makrifat jiwa dan perjalanan jiwa,
merupakan perjalanan yang sangat sulit, dengan alasan inilah mengenai riwayat
di atas sebagian ulama mengatakan, sebagaimana makrifat Tuhan adalah sangat
sulit, makrifat jiwa pun demikian juga, dan kesulitan serta kerumitan jalan
inilah yang telah menyebabkan hanya sedikit orang yang mampu berjalan di
atasnya.
Akan tetapi makna lain yang bisa disimpulkan dari riwayat
ini adalah adanya kemestian antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan.
Lebih lanjut Imam bersabda, "Pengenalan jiwa
merupakan pengenalan yang paling bermanfaat".[18]
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya,
tanda-tanda Ilahi, bisa disaksikan pada dua perjalanan, baik perjalanan kosmos
maupun mikrokosmos, akan tetapi perjalanan yang paling baik dan bermanfaat
adalah perjalanan mikrokosmos atau perjalanan jiwa. Ketika menyaksikan
penciptaan alam tanpa batas yang begitu mengagumkan, manusia tidak saja mampu
untuk tidak melupakan dirinya, bahkan dia juga bisa semakin memahami keajaiban
dan kemisteriusan dunia yang ada di dalam dirinya. Hal inilah yang lebih baik
bagi manusia, yaitu mengenal jiwa dan kapabilitasnya, bukan mengenal dunia luar
dengan sebaik-baiknya akan tetapi jahil terhadap apa yang ada di dalam dirinya.
"Puncak dari seluruh makrifat adalah makrifat
jiwa"[19], yaitu pada hakikatnya apabila seseorang mampu mengenal dirinya,
maka dia telah sampai pada puncak dari berbagai makrifat.
"Seseorang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana
dia bisa mengenal selainnya?"[20] "Dalam pengetahuan, cukuplah bagi
manusia untuk mengenal dirinya, dan dalam kejahilan cukup baginya untuk tidak
mengenali dan jahil terhadap dirinya."[21] "Barang siapa mengenal
dirinya, berarti dia telah bersifat spiritual."[22] Dalam keadaan ini, ia
tidak lagi sebagaimana manusia pada umumnya.
Kadangkala manusia tersungkur sangat jauh ke bawah hingga
jiwanya menduduki predikat, jiwa materi. Ketika jiwa terpenjara di dalam
kungkungan tabiat dan kecenderungan tubuh, dan makan, tidur, syahwat, dan
amarah telah mendominasi dirinya, maka secara bertahap, jiwa yang tadinya
non-materi akan berubah menjadi materi, dan sebaliknya, ketika seseorang
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwanya dengan cara yang benar,
dan dia berusaha untuk menggapai derajat malakutinya, di sini tubuh akan
menemukan keadaan yang bersifat spiritual, yaitu seakan tubuh telah meruhani
dan secara sempurna berada di bawah kekuasaan jiwa. Dengan alasan inilah
sehingga kadangkala sebagian individu terlihat mampu menunjukkan
perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti kematian ikhtiari, lapar dalam waktu
lama, dan lain sebagainya. Meskipun bisa jadi ilmu saat ini, seperti ilmu
kedokteran tidak bisa menerima hal-hal semacam itu, akan tetapi harus diketahui
bahwa subyek yang dibahas dalam ilmu kedokteran adalah tubuh manusia bukan jiwa
manusia.
Jadi sekali lagi, orang yang menemukan makrifat jiwa akan
bisa berubah menjadi realitas spiritual, dimana pada hakikatnya mekanisme
materi tidak lagi mendominasinya.
Setelah tingkatan tersebut, terdapat tingkatan yang lebih
tinggi dari non-materi dan pembebasan jiwa (tajarrud) dimana manusia akan
menjadi manifestasi dari asma, sifat, dan nama agung Tuhan, sebagaimana Imam as
bersabda, "Nahnu asma-ullahu al husna (Kami adalah asma-asma Tuhan)".
Tentang tajarrud ada tiga makna:
1. Pembebasan jiwa dari alam materi;
2. Pembebasan jiwa dari keterikatan atas manusia lain;
3. Pembebasan dari segala sesuatu dengan ikhlas pada-Nya.
"Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan
melawan kecenderungan buruk jiwanya, dan siapa yang tidak mengenal jiwanya, dia
akan memujinya dan merasa puas dengannya".[23]
Dari sini bisa diketahui dengan jelas, apa yang akan
terjadi pada manusia apabila dia jahil terhadap dirinya, dan bagaimana dia bisa
menjual komoditi yang paling agung dan paling berharga dalam alam penciptaan
ini dengan harga yang paling murah?
Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, bersabda,
"Merupakan perdagangan yang merugikan jika kalian meletakkan harga pada
diri kalian lalu menjualnya."[24]
Suatu hari Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ali Khamenei
dan Imam Khomeini ra berkata, "Seandainya kunci dunia ini diberikan kepada
manusia, hal ini masih merupakan perkara yang sangat kecil baginya".
Menukilkan sebuah misal untuk hal ini akan lebih menjelaskan pernyataan
tersebut. Misalnya pada sebuah perpustakaan telah ditemukan sebuah kitab sangat
langka dengan nilainya yang tiada banding dan penulisnya yang handal menduduki
peringkat dunia yang hidup pada masa lalu. Bisa jadi seorang peneliti yang
memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut sampai rela menjual rumahnya untuk
membeli kitab tersebut, lalu setelah kitab berada di tangannya, dia akan
menjaga dan menyimpannya seakan-akan merupakan benda yang teramat sangat
berharga. Akan tetapi orang yang sama sekali tidak mengetahui tentang nilainya,
bisa jadi dia malah akan merobek kitab tersebut selembar demi selembar lalu
menggunakannya untuk membungkus cabe dan garam yang ada di warungnya. Jadi
pengetahuan terhadap diri, merupakan pendahuluan untuk memperbaiki diri dan
untuk menghiasi mutiara jiwanya, lalu menggunakannya untuk bergerak hingga ke
puncak makrifat, sedangkan kejahilan dan ketidaktahuan terhadap diri akan
menjadi penyebab kemusnahan dan tersia-sianya jiwa.
Keburukan Lupa Diri;
Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, mengenal
diri merupakan persoalan yang sangat penting, dan manusia harus mengetahui
tentang siapa 'aku', karena jika dia tidak memperoleh pengenalan semacam ini,
maka pasti terjadi kesalahan dalam menentukan apa-apa yang hakiki dan apa-apa
yang non-hakiki, dia akan menyangka sesuatu yang hakiki sebagai non-hakiki,
lalu meletakkan yang hakiki di tempat non-hakiki dan sebaliknya, yaitu dia
melupakan dirinya yang hakiki, dan menganggap non-jiwa sebagai hakikat dirinya.
Dengan demikian, dia telah melakukan perbuatan berdasarkan keyakinan yang tidak
benar ini, dan hal ini sama artinya dengan membuat kehancuran bagi dirinya
sendiri.
Suatu ketika, terdapat orang yang memiliki modal besar.
Dengan uang tersebut dia mempunyai rencana akan membangun sebuah gedung yang
kokoh, megah, dan sangat indah di atas tanah yang sangat luas. Beberapa waktu
lamanya dia membanting tulang dan berjerih payah mengeluarkan tenaga dan
pikiran untuk membangun gedung impiannya tersebut, hingga setelah beberapa
waktu lamanya akhirnya selesai jualah apa yang dia inginkan. Karena sekian
waktu tenaganya telah terkuras untuk membangun gedung itu, maka bersamaan
dengan selesainya pembangunan gedung dan habisnya modal, kondisi dan stamina
tubuhnya pun menurun. Dalam hal ini, dalam satu waktu sekaligus dia telah
kehilangan dua hal, yaitu modal dan stamina tubuh. Dalam kelemahannya, dia
menyaksikan gedung megah yang berdiri di hadapannya dengan perasaan puas dan
bangga, akan tetapi tiba-tiba dia tersadar bahwa dia telah membangun gedung
tersebut di atas tanah milik tetangga, sedangkan di atas tanahnya sendiri
kosong dari bangunan. Apa yang terjadi? Seluruh yang dia lakukan, modal yang
dia gunakan, waktu yang dia habiskan, semuanya telah hilang dengan sia-sia.
Kadangkala sebagian manusia bekerja dan berusaha siang-
malam selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak pernah merasakan ketenangan
meskipun sedetik. Ketika ditanyakan tentang semua alasan usahanya ini, menjadi
jelas bahwa seluruh jerih payahnya tersebut adalah untuk mendapatkan beberapa
helai permadani, mobil, sebuah rumah, dan uang. Jelaslah bahwa di sini mereka
menganggap yang non-hakiki sebagai realitas yang hakiki, yang seharusnya mereka
berkhidmat kepada "jiwa hakiki", yang terjadi malah mereka berkhidmat
secara total kepada "tubuh non-hakiki". Ketika tiba saat perpisahan
antara jiwa dan tubuh, mereka baru sadar bahwa usaha dan jerih payah yang
mereka lakukan selama ini hanyalah untuk memenuhi kepentingan tubuhnya,
sedangkan diri dan jiwanya yang hakiki tidak mengalami kemajuan sedikitpun dan
tetap berada pada usia kanak-kanak, hal seperti ini merupakan stagnasi ruh yang
sangat mengerikan. Dikarenakan seseorang tidak mengenal diri dan jiwanya secara
hakiki, seluruh jerih payah dan pengkhidmatannya hanya dia berikan untuk
menggapai keinginan-keinginan tubuh materi yang bakal punah.
Pengaruh Makrifat Jiwa;
Ketika jiwa manusia telah sampai pada tingkatan
non-materi murni dan kebergantungannya pada apa yang ditampakkan oleh dunia
telah berkurang, secara bertahap dia akan keluar dari penjara tubuh dan tidak
lagi melihat adanya benturan-benturan yang menghalangi tubuhnya. Dalam keadaan
seperti ini - sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya - tubuh akan
berada dibawah kewenangan jiwa dan seakan tubuh pun telah berubah menjadi jiwa,
kemudian keajaiban-keajaiban dan kemuliaan-kemuliaan yang mengherankan akan muncul
darinya, sedemikian hingga dia mampu memisahkan ruh dari jiwa dengan kemauannya
sendiri, kematian seperti ini biasa disebut kematian ikhtiari yang sering
terjadi pada diri para wali Tuhan. Salah satunya adalah kejadian menarik yang
dinukilkan dari Ogho Sayyed Muhammad Darceh-i.[25] Telah ditanyakan kepada
beliau mengenai kebenarn riwayat, "Imam Ridha as memerintahkan untuk
melukis gambar singa pada sebuah tirai, lalu singa tersebut hidup dan setelah
memangsa orang tak beradab yang berada di dekatnya, dia kembali lagi ke
tempatnya semula". Ogho Sayyed dalam jawabannya mengatakan,
"Perbuatan itu bisa pula muncul dari aku yang hanya sebagai budak beliau.
Ketahuilah bahwa kodrat semacam ini berkaitan dengan jiwa yang telah
menyempurna dan telah terbebas dari penghalang-penghalang materi dan telah
memiliki kedudukan di tempat yang tinggi".
Hal yang serupa diceritakan juga oleh Mahyuddin, dia
berkata, "Dahulu aku mempunyai seorang guru bernama Abu Madain yang
memiliki jabatan tinggi dalam kemiliteran, dan dia bisa melakukan berbagai
pekerjaan, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah memperhatikan kepentingan
dirinya, kehidupan pribadinya senantiasa berada dalam keadaan yang susah dan
kurang, keadaan beliau telah sedemikian susahnya hingga sebagian para pembesar
mengatakan, kenapa kamu tidak berusaha untuk memperbaiki keadaanmu? Akan tetapi
lelaki agung tersebut berkata, bahwa seluruh persoalan hidupnya telah dia
serahkan kepada Allah".
Alamah Thabathabai, pada setiap malam Kamis dan malam
Jumat senantiasa mengadakan pertemuan dengan para sahabat dan murid-muridnya
secara bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya, suatu kali seluruh peserta
majelis sepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu pelajar, akan
tetapi rumah pelajar tersebut begitu jauh dan gelap, sedangkan saat itu usia
Alamah Thabathabai sendiri telah lanjut, sehingga untuk berjalan di tempat yang
gelap akan sangat menyusahkkan beliau. Melihat hal demikian, para murid
memberikan saran kepada beliau, lebih baik pertemuan kali ini diadakan saja di
rumah beliau, akan tetapi dalam jawabannya, beliau berkata, "Ketika
berjalan di siang hari, mataharilah yang menjaga kita sehingga kita tidak
terjatuh, dan sekarang dalam kegelapan, karena matahari dan cahaya tidak
menjaga kita lagi, apakah maka kita akan terjatuh ke tanah?"
Hal-hal di atas merupakan contoh dari kemuliaan dan
kemampuan jiwa dalam menguasai tubuh, adanya pengaruh dominan untuk melakukan
perintah-perintah Ilahi, telah memunculkan hal-hal yang mengagumkan dalam wujud
hamba-hamba yang taqwa ini. Pelatihan, ketaatan, dan penghambaan kepada Tuhan,
secara bertahap akan mengantarkan jiwa untuk sampai ke arah dan tingkatan
tersebut, dimana kemudian jiwa menemukan kodrat yang seharusnya, dan menguasai
tubuh secara baik, dan kedekatannya kepada Tuhan, akan menyebabkan
kemuliaan-kemuliaan Tuhan menurun kepadanya.
Karena karakter manusia adalah mencari keuntungan, maka
dia akan berusaha untuk menggapai apa yang dikenalnya sebagai persoalan yang
sesuai untuk dirinya. Tentunya kecenderungan untuk mencari keuntungan ini
memiliki akar kecintaan yang esensial (cinta diri sendiri), karena seluruh
kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berasal dari akar kecintaan esensial
ini, dikarenakan dia mencintai dirinya sendiri maka dia akan berusaha untuk mendapatkan
apa yang diinginkan oleh jiwanya, tapi apabila dia keliru menentukan, maka dia
akan salah memposisikan apa yang hakiki bagi dirinya, yaitu apabila manusia
tidak mengenal jiwa, kemampuan, potensi, dan kesempurnaan dirinya, maka dia
akan keliru meletakkan persoalan-persoalan non-hakiki dan keinginan-keinginan
tak penting pada posisi kebutuhan-kebutuhan esensial dan kesempurnaan
hakikinya. Dalam keadaan yang demikian maka seluruh kekuatan dan usahanya dalam
hidup, hanya dia untuk mencapai kesempurnaan tak hakiki dan keinginan-keinginan
kaburnya, dengan demikian 'aku' yang hakiki, justru akan terkapar di bawah kaki
'tubuh' materi.
Akan tetapi pengenalan yang benar terhadap jiwa, akan
mampu mengubah arah perjalanan hidup manusia kepada kesempurnaan hakiki, karena
dengan mengetahui dirinya dan mengetahui nilai jiwanya sendiri, berarti manusia
telah mengenal kesempurnaan hakikinya, dan kecintaan pada diri sendiri tidak
akan mengizinkannya melangkah di atas selain jalan yang menuju ke arah
kesempurnaannya. Dalam perjalanan inilah 'tubuh' akan mengorbankan diri hingga
mencapai kesempurnaan hakiki bagi jiwa, dan dia akan memperoleh seluruh
kesempurnaan yang akan melesakkannya hingga lebih tinggi dari tingkatan para
malaikat, dan akan menghalanginya dari terperosok ke jurang yang lebih rendah
dari tingkatan hewan. Hal ini terjadi karena kecintaan diri yang benar akan
menuntut pengaruh yang benar pula, sedangkan kecintaan diri yang palsu akan
memerosokkan manusia pada keinginan-keinginan yang palsu pula.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah bahwa manusia
yang telah menemukan dirinya ini sama sekali tidak akan menjual aset umurnya
untuk komoditi yang tak kekal dan sesaat, karena dia menganggap bahwa diri
adalah abadi, sementara kehidupan yang abadi tidak membutuhkan aset yang
sesaat, melainkan harus sesuai dengan masa mendatang. Satu lagi, manusia yang
telah mengenal hakikat dirinya akan menemukan bahwa seluruh umurnya dalam
setiap detik kehidupannya harus mencapai hal yang kekal dan permanen, persis
sebagaimana seorang kapitalis yang membeli barang-barang berharga dengan
berapapun aset yang dia miliki, untuk mendapatkan aset yang permanen, dan hal
ini kontradiksi dengan orang yang waktunya hilang sesaat demi sesaat dan tidak
ada sesuatupun yang dihasilkannya, dia telah kehilangan asetnya dan diapun
tidak mampu memperoleh yang abadi dan permanen. Dia tidak mendapatkan
sedikitpun keuntungan dari waktu yang telah terbuang.
Pada dasarnya kesulitan-kesulitan dan benturan-benturan
yang dimiliki oleh manusia-manusia saat ini adalah karena mereka tidak mampu
membedakan antara diri hakiki dan diri tak hakiki, dan mereka telah memisahkan
antara aku yang sebenarnya dari tubuhnya, lalu menarik masing-masingnya ke arah
yang berbeda dari lintasan perjalanan yang seharusnya.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah swt dalam al-Quran, "Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada
mereka sendiri",[26] dimana melupakan Tuhan akan meniscayakan pada lupa
diri, yang konsekuensinya berarti pengenalan diri akan meniscayakan pada
pengenalan Tuhan.
Pada salah satu ayat-Nya yang lain, "Allah
berfirman, "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".[27]
Pertanyaan yang muncul adalah, apa maksud dari "Dan begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan". Sedangkan Tuhan tidak akan pernah lupa,
karena kejahilan, ketidaktahuan, dan lupa merupakan suatu persoalan yang
mustahil bagi-Nya. Jika demikian, apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini? Masa
depan seperti apa yang hendak diungkapkannya? Dari wahyu tersebut bisa
disimpulkan bahwa orang yang mendengarkan dan mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh Tuhan, dia akan memperoleh keinginan-keinginan hakikinya dan
dia akan menuangkannya ke kedalaman jiwanya untuk memenuhi kehausan
spiritualnya. Dari sini, seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah berubah
dari potensi menjadi aktual, yang akhirnya akan sampai pada bentuk malakuti
yang suci dari keterikatan alam materi.
Akan tetapi ketiadaan perhatian pada perintah, hukum, dan
ayat-ayat Ilahi pada hakikatnya merupakan ketiadaan perhatian pada keinginan
hakiki manusia, dengan perbuatannya ini berarti dia telah meletakkan jiwa dalam
kotoran gelap alam materi, dan seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah dia
hancurkan pada tingkatan potensi, dan dia akan terhalangi dari
pengaruh-pengaruh malakuti amal dan perbuatan-perbuatannya yang Ilahi, dan hal
ini akan tampak jelas pada hari kiamat kelak. Dari sinilah kemudian Allah swt
berfirman, "Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan", yaitu
dilupakannya manusia pada hari kiamat, bertolak dari amal dan perbuatannya di
dunia dan apa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk mengembangkan
kecenderungan-kecenderungan, baginya hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa
dia peroleh.
Poin penting berikut harus diperhatikan bahwa balasan
pada hari kiamat yang bertolak dan merupakan hasil dari amal dan perbuatan
setiap manusia di dunia merupakan majemuk perbuatan yang telah bergabung dalam
diri seseorang yang kemudian akan membentuk wujud ukhrawinya, dan ini
berlawanan dengan balasan dan pahala yang ditentukan di dunia. Di dunia, untuk
perbuatan yang berbeda akan mendapatkan balasan yang telah ditentukan dalam
bentuk yang berbeda pula. Misalnya, untuk pelanggaran mengemudi, akan dikenai
hukuman denda, dan untuk peminum minuman keras akan dikenai hukuman siksaan dan
…, akan tetapi di akhirat, setiap manusia akan dibangkitkan dengan hakikat
perbuatannya. Dalam salah satu ayat-Nya, berfirman, "Hai manusia,
sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil
kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan"[28],
yaitu orang yang memukul anak yatim dengan kezaliman dan telah menyebabkan air
matanya jatuh bercucuran, sebelum dia melanjutkan perbuatan dan ancamannya,
beliung telah memangkas jenggotnya dan hakikat perbuatannya - yang kini telah
tersimpan di dalam jiwanya - akan tampak baginya di hari kiamat kelak.
Sekarang, ketika kiamat dan masa tertampaknya perbuatan
manusia dan hari penampakan masih tersembunyi dan tidak kita ketahui,
orang-orang yang melupakan ayat-ayat Ilahi pun, pada hari kiamat akan
berhadapan dengan hakikat perbuatannya yaitu dia akan dilupakan, "Dan
begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan", dan dia tidak akan layak
mendapatkan perhatian sedikitpun. Pada hari ketika rahmat Tuhan tercurah pada
seluruh alam, dia akan terhalangi dari rahmat-Nya. Orang yang tidak mengenal
dirinya, dia akan menyangka telah hidup beruntung dan berbahagia ketika
memiliki kendaraan, makanan, dan minuman yang paling baik, kekayaan dunia yang
berlimpah, hidup di istana besar nan mewah dan mendapatkan seluruh
penghormatan. Akan tetapi ini semua tak lebih dari sekedar sebuah khayalan, dia
tidak mengetahui bahwa dia telah hidup di alam yang bukan alam insaniyah. Orang
yang membatasi seluruh perhatiannya pada keinginan-keinginan hewani, dan lalai
terhadap jiwanya, dan tidak bernafas di dalam udara insaniyah, dia akan mati
dengan keadaan sebagaimana dia hidup di dunia ini.
Mengenal Indera Batin Manusia;
Sebagaimana manusia dalam lahiriahnya memiliki potensi
yang beragam, seperti mata, telinga, hati, indera perasa, pencium dan
lain-lain, batin juga memiliki potensi-potensi semacam ini yaitu memiliki
indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. Sebagaimana tubuh
materi memiliki mata dan telinga, jiwa juga memiliki penglihatan dan
pendengaran, dan sebagaimana halnya jantung materi berdetak di dalam dada
jasmani manusia lalu menyempurnakan kehidupannya, jiwa juga memiliki jantung
yang memiliki kehidupan, dimana kebanyakan dari ibadah akan menyebabkan
hidupnya hati ini, dan kebalikannya kebanyakan dari dosa akan mematikan dan
memusnahkannya, dan begitu banyak hadits yang menyiratkan tentang aksi dan
reaksi jantung batin ini. Sebagai contoh, pada sebuah hadits dikatakan bahwa
zikir "Ya hayyu ya qayyum, ya man la ilaha illa anta" akan
menghidupkan hati. Demikian juga terdapat dalam hadits bahwa hidup berdampingan
dengan penyembah dunia akan mematikan hati.
Orang yang tidak mengetahui secara benar tentang potensi
yang dimiliki oleh eksistensi ini, akan berhadapan dengan potensi-potensi yang
mentah dan tak matang, dan sebagaimana kanak-kanak yang tidak pernah
memperhatikan adanya bahaya dan manfaat, setiap langkah yang dia lakukan dalam
kehidupan senantiasa akan semakin mendekatkannya kepada bahaya dan semakin
menjauhkannya dari manfaat. Seperti orang yang dilahirkan dan hidup sendirian
di tengah hutan, dan tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang
potensi-potensi yang dimilikinya, keadaan ini jelas akan menyebabkan stagnasi
perkembangan pada potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi yang
tersembunyi ataupun yang tampak. Bahkan hingga sampai pada tingkatan dia tidak
mengetahui apa yang bisa diperbuat oleh lidah yang ada di mulutnya. Tidak ada
sedikitpun gambaran dalam benaknya bahwa dengan lidah, dia akan mampu
menyampaikan maksudnya kepada selainnya. Dia juga tidak mengetahui bahwa dengan
matanya dia akan mampu melihat hal-hal yang indah dan mempesona, dengan
telinganya dia akan mampu mendengar suara-suara yang merdu.
Olah karena itu, pada sepanjang hidupnya, dia akan bisu,
buta, tuli dan tidak mampu memanfaatkan perangkat-perangkat yang diletakkan
dalam kewenangannya. Apa yang terdapat dalam kedalaman batin manusia pun
demikian juga. Ketika manusia tidak mengenal penglihatan, pendengaran, dan hati
nurani, maka dia tidak akan memberikan perhatian padanya, dengan demikian
potensi-potensi ini tidak akan bisa berkhidmat secara maksimal kepadanya,
hasilnya, batinnya akan menjadi buta, bisu, dan tuli.
Apabila mata dan telinga yang dimiliki oleh jiwa manusia
tidak pernah melihat dan mendengar hakikat sedikitpun, dan hatinya tidak pernah
berada dalam ketenangan dan tidak pernah menemukan sandaran pada hakikat tinggi
makrifat, maka mata dan telinga manusia ini akan tetap buta dan tuli di dunia
ini, sebagaimana orang hutan yang tetap dalam keadan bisu dan tuli karena dia
tidak pernah bercakap dengan selainnya dan tidak pernah pula mendengar suara
dari selainnya. Orang inipun di akhirat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan
bisu dan tuli, dan al-Quran dengan seluruh perhatiannya mengajak manusia untuk
menguatkan mata dan telinga batin ini.
Pada salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman,
"Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang
siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan
barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali
kepadanya". [29]
Dan pada ayat lain berfirman, "Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada",[30]yaitu mata hati dan jiwanya telah buta sehingga
ruh tidak mempunyai kekuatan untuk melihat hakikat. Hakikat makrifat tidak
senantiasa bisa disaksikan dengan mata lahiriah, untuk memahaminya mata batin
harus dalam keadaan terbuka untuk menerima dan memahami.
Pada ayat yang lain, Allah swt berfirman, "Dan
barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)"[31]
Apabila kita telisik ayat di atas, apa sebenarnya maksud dari ibarat ini?
Apakah maksudnya adalah bahwa setiap orang yang tidak mendapatkan karunia untuk
melihat dunia dengan matanya, di akhirat pun tidak akan melihat apa-apa? Jika
demikian, maka seharusnya Abi Bashir yang buta, murid terbaik Imam Shadiq as,
juga akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta? Tentu saja tidak, makna
ayat tidaklah mengisyaratkan bahwa setiap orang yang di dunia ini tidak bisa
menyaksikan benda-benda materi di sekitarnya dengan matanya, di akhiratpun akan
menghadapi hal yang serupa. Yang benar adalah bahwa setiap orang yang mata hati
dan jiwanya tidak terbuka dan pemahaman serta pandangannya tidak melebihi
tingkatan lahiriah bendawi, maka dia sama sekali tidak akan mampu membaca
huruf-huruf dan rahasia eksistensi dan tidak memiliki pandangan yang mengandung
ibrah terhadap dunia.
Ringkasnya, apabila seseorang tidak menemukan hubungan
dengan batin alam, berarti dia buta, dan buta semacam ini akan mewujud di
akhirat kelak, karena kiamat adalah "Hari ketika seluruh rahasia-rahasia
tersingkap ". Oleh karena itu, manusia harus hidup sedemikian rupa
sehingga seluruh amal, perbuatan, dan tujuannya adalah untuk membuka mata dan
telinga batin dan menemukan pandangan hakiki. Manusia harus mengarungi
kehidupannya di bawah naungan wilayah Ilahi dan bimbingan Ahlulbait as sehingga
akan terdapat perbedaan antara hari kelahiran dan kematiannya, yaitu apabila
seseorang terlahir ke dunia dalam keadaan mata dan telinga yang tertutup, maka
dia akan meninggalkan dunia dengan mata dan telinga yang terbuka sehingga akan
dibangkitkan di alam akhirat dalam keadaan melihat. Tentunya usaha dan upaya
dalam wilayah ini membutuhkan kerja yang ekstra, dan Allah swt akan mempermudah
keberhasilannya hamba-Nya yang berusaha untuk melakukah hal ini. Dari sini,
Allah swt dalam al-Quran berfirman, "Barang siapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya ".[32]
Dalam hubungannya dengan bahasan kita, terdapat sebuah
cerita yang dinukilkan dari Ayatullah Behjat, yang akan kami ceritakan untuk
Anda secara ringkas. Di Masyhad, terdapat seorang lelaki buta yang hafal
seluruh al-Quran. Keahlian orang ini adalah ketika seseorang meletakkan
al-Quran di tangannya dan misalnya meminta kepadanya untuk menemukan ayat
"Maka Apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu
adalah kaum yang melampaui batas?"[33], maka dia akan segera mengambil
Quran itu dan menunjukkan ayat sebagaimana yang dimaksud. Kadangkala sebagian
orang yang ada disana dengan bergurau mengatakan bahwa engkau tidak menemukan
ayat yang diinginkannya dan dia menjawab, berarti kalianlah yang buta.
Apakah ayat, "Dan barang siapa yang buta (hatinya)
di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih
tersesat dari jalan (yang benar)"[34] berkaitan dengan orang semacam ini,
ataukah berkaitan dengan seseorang yang memiliki dua mata indah yang menghiasi
wajahnya, akan tetapi dia hanya menggunakannya untuk melihat kehidupan lahiriah
dan mata hatinya tidak berhubungan dengan batin dan hakikat alam?
Pada surah Thahaa, Allah swt berfirman, "Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan
buta, padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman:
"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu melupakannya,
maka begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan"[35].
Orang yang pada hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan
buta akan mengatakan, "… padahal dahulunya aku adalah seorang yang
melihat", jelas, orang ini menyangka bahwa dirinya melihat dan dia
mengkhayal bahwa yang dimaksud dengan penglihatan hanyalah bahwa manusia mampu
menyaksikan benda-benda materi dalam batasan tertentu, sedangkan sebenarnya
tidaklah demikian. Orang semacam ini sama sekali tidak mengetahui makna hakiki
dari melihat dan bashirah, dia tidak memahami bahwa pada hakikatnya di dunia
ini terdapat dua kebutaan, pertama tidak memiliki penglihatan fisikal, dan kedua
tidak memiliki penglihatan jiwa.
Allah swt pada ayat yang lain dari al-Quran berfirman,
"Mereka itulah orang-orang yang dila'nat Allah dan ditulikan-Nya telinga
mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka"[36].
Memperhatikan subyek ini, meniscayakan kepada kita untuk
tidak melihat al-Quran hanya dari makna leksikalnya, melainkan al-Quran
merupakan penjelas dari hakikat alam, al-Quran merupakan wujud kalimat dari
eksistensi hakiki dan merupakan penerjemah realitas eksternal. Ketika al-Quran
berfirman, "Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup"[37],
pada hakikatnya ayat ini menghikayatkan bagaimana eksistensi eksternal itu. Dan
ketika berfirman, "Mereka itulah orang-orang yang dila'nat Allah dan
ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka", inipun
merupakan pembuka sebuah rangkaian aksi dan reaksi yang terjadi pada mekanisme
orang-orang tertentu.
Dalam surah al-Mukmin, berfirman, "Dan tidaklah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (sama pula) orang-orang
yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang
durhaka"[38]. Pada awal ayat berfirman bahwa 'buta' dan 'melihat' tidaklah
sama, kemudian melanjutkan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, berbeda dengan orang-orang yang durhaka. Pada dasarnya, ayat ini
meletakkan kebutaan secara berhadapan dengan iman dan amal shaleh, sedangkan
para pendosa dan pelaku perbuatan-perbuatan yang tercela dianggap sebagai
orang-orang yang tidak memiliki 'mata'. Maksudnya adalah bahwa iman dan amal
shaleh adalah penerang yang akan menajamkan penglihatan sedangkan dosa dan
maksiat akan menggelapkan dan membutakan penglihatan.
Pada surah al-Baqarah, Allah berfirman, "Mereka itu
tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itulah) mereka tidak mengerti"[39],
sedangkan pada surah an-Naml, berfirman, "Dan kamu sekali-kali tidak dapat
memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat
menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri"[40], kemudian pada surah
Fusshilat, berfirman, " … dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga
mereka terdapat sumbatan, dan kedua mata mereka buta … "[41]
Ayat-ayat di atas, seluruhnya menyiratkan poin berikut
bahwa manusia selain memiliki potensi lahiriah dan inderawi, mereka juga
memiliki potensi batin dan spiritual. Letak poin tersebut di sini bahwa
kemanusiaan manusia dan kebahagiaannya bergantung hingga sejauh mana dia
menemukan pengenalan terhadap potensi-potensi internal jiwanya dan sejauh mana
dia mampu memenuhi kebutuhan hakiki batinnya. Dia harus meletakkan
potensi-potensi ini dalam wilayah perhatiannya lalu mempersiapkan segala
sesuatu yang bermanfaat dan menjadi nutrisi bagi batin, dan tidak menghalangi
tumbuhnya potensi internal, membimbingnya ke arah yang benar untuk mencapai
kesempurnaan hakikinya, sedangkan merendahkan mereka akan menyebabkan kerusakan
dan turunnya derajat kemanusiaan, yang hal ini akan berlanjut pada kebutaan dan
ketulian yang sama sekali tidak bisa diterima dan tidak pernah diinginkan oleh
setiap manusia, dan keadaan seperti ini hanya akan mengantarkan pada kesedihan
mendalam dan penyesalan yang tak berguna.
Allah berfirman, "Setiap kali mereka hendak keluar
darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka:
"Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya"[42].
SALAM RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU
SAUDARA-SAUDARIKU SEMUANYA TANPA TERKECUALI... SEMOGA POSTINGAN SAYA INI
BERMANFA’AT SEBAGAI WAWASAN DAN PENGALAMAN TAMBAHAN KITA.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar